Review Jurnal Hukum Dagang

Jurnal Hukum Dagang

Review jurnal : Perkembangan Wesel Dan Cek Sebagai Alat Bayar Giral
Pengarang      : Agung Sujatmiko*
Institusi         : Universitas Airlangga Surabaya
Sumber         : http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/27209113130.pdf 

Abstrak
The payment in trade is not only use cash money, but also commercial paper, such us wissel and cheque. Despite the sameness between wissel and cheque as tool of payment, both are distinct. Whereas wissel is a debit payment, cheque is a cash one. Both of them are regulated by the KUHD, yet cheque is more popular than wissel. People prefer using cheque than wissel, because cheque has more advantages: quick, practical, and save. Recently cheque has been improved and advanced with various features, such as travellers cheque, crossed cheque, incaso cheque, cashier cheque, bilyet digital cheque.
Key words : trade, commercial paper, wissel, cheque.

I. Pendahuluan 
          Kemajuan teknologi dunia demikian pesat ternyata menyangkut juga dalam sektor perdagangan. Hal ini terbukti diantaranya dalam hal orang menghendaki segala sesuatu tang menyangkut urusan perdagangan yang bersifat praktis dan aman serta dapat di pertanggungjawabkan, khususnya dalam lalulintas pembayarannya.
          Dalam hal ini orang tidak mutlak lagi menggunakan alat pembayaran berupa uang, melainkan cukup dengan menerbitkan surat berharga baik sebagai alat pembayaran kontan maupun alat pembayaran kredit.
          Dalam dunia perbankan dikenal bermacam-mavam surat berharga, antara lain wesel, cek, aksep, dan bilyet giro. Ciri surat berharga itu adalah dapat dengan mudah dipindahtangankan dari satu orang ke orang lainnya, berfungsi sebagai alat legitimasi, dan dapat di pergunakan sebagai alat pembayaran yang sah sebagai mata uang.
          Salah satu surat berharga yang dipakai dalam lalulintas pembayaran secara giral adalah wesel dan cek. Wesel di atur dalam pasal 100 sampai dengan 177 KUHD, sementara cek diatur dalam pasal 178 sampai dengan pasal 229d.
          Beberapa faktor yang terkait efisiensi dan efektivitas dalam pembayarannya menjadi penyebab utama mengapa cek lebih populer dikalangan masyarakat luas. Hal ini di sebabkan karena dalam dunia perdagangan global, persoalan tentang tata cara pembayaran menjadi sangat penting, mengingat pengusaha selalu memerlukan dana segar dalam waktu cepat dan tepat untuk keperluan transaksinya dengan pihak ketiga. Oleh kaena itu, persoalan tentang alat bayar apa yang sesuai dengan tuntutan transaksi bisnis, akan berpengaruh pada intensitas penggunaan alat bayar giral yang digunakan.

II. Permasalahan
          Dari uraian di atas, maka permasalahan yang akan di bahas adalah; Bagaimana perbedaan penggunaan wesel dan cek sebagai alat bayar giral dan, bagaimana perkembangan cek sebagai alat bayar giral?  


III. Pembahasan
     III.a Perbedaan Wesel dan Cek
          Berdasarkan persyaratan formil yang di atur dalam KUHD, ada beberapa perbedaan yang sangat prinsip antara wesel dan cek. Berdasarkan pasal 100 KUHD, persyaratan formil wesel adalah:
1. Nama surat wesel yang dimuatkan di dalam teksnya sendiri dan diistilahkan dalam bahasa surat itu ditulisnya.
2. Perintah tak bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu.
3. Nama orang yang harus membayarnya (tertarik).
4. Penetapan hari bayar (vervaldaag).
5. Penetapan tempat dimana pembayaran harus dilakukan jika tempat tidak disebutkan secara khusus, maka tempat yang tertulis di samping nama tertarik dianggap sebagai tempat pembayaran.
6. Nama orang kepadanya atau kepada orang lain yang ditunjuk olehnya, pembayaran harus dilakukan.
7. Tanggal dan tempat surat wesel ditariknya.
8. Tandatangan orang yang melakukannya (penarik).
Jika dibandingkan wesel, persyaratan formil cek berbeda. Sesuai dengan pasal 178 KUHD, persyaratan formil cek adalah:
1. Nama cek dimuat dalam teksnya sendiri dan diistilahkan dalam bahasa cek itu ditulisnya.
2. Perintah tak bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu.
3. Nama orang yang harus membayarnya (tertarik).
4. Penetapan tempat dimana pembayaran harus dibayarkan.
5. Tanggal dan tempat cek ditariknya.
6. Tandatangan orang yang mengeluarkan cek (penarik).

Jika dibandingkan dengan wesel, maka persyaratan cek lebih sedikit. Ada dua persyaratan yang berbeda dengan wesel yakni, pertama dalam cek tidak ada tanggal pembayaran, karena tanggal pembayaran cek adalah pada saat ditunjukkan pada bank. Perbedaan yang kedua di dalam cek tidak menyebutkan nama pemegang, karena wesel diterbitkan dengan klausula atas pengganti (aan order), sedangkan cek pada umumnya diterbitkan dengan kalusula atas tunjuk (aan toonder).


III.b Faktor-faktor Penggunaan Cek dan Perkembangannya
          Sebagai alat pembayaran yang sah, baik wesel maupun cek dapat digunakan untuk bertransaksi dalam dunia bisnis. Disamping itu juga dalam pembayaran antar manusia lainnya. Penggunaan wesel dan cek sebagai alat pembayaran dapat memudahkan urusan bisnis antar pihak. 
          Dalam perkembangannya cek dan wesel banyak di minati oleh masyarakat luas, namun dengan seiring bekembangnya waktu dan semakin maju tekhnologi yang ada cek sudah tidak menjadi alat pembayaran utama karena sudah gencarnya penggunaan kartu kredit. Dalam perkembangan selanjutnya, untuk melaksanakan dan menunjang Sistem Perdagangan di Internasional (SPI), maka dalam pembayarannya perlu menggunakan Cek cBilyet Digital. Menurut Arianto Mukti Wibowo dalam hal ide tentang Rancangan Protokol Cek Bilyet Digital, transaksi di internet yang mengoptimalkan penggunaan sertifikat digital sementara ini barulah SET (Secure Elektronik Transaction). Penggunaan sertifikat digital memang membuat transaksi di internet lebih aman.

IV. Kesimpulan
          Perbedaan utama antara wesel dan cek adalah wesel sebagai alat bayar kredit, sedangkan cek merupakan alat bayar tunai. Disebut alat bayar kredit, karena pembayaran wesel masih digantungkan pada tanggal pembayaran sesuai dengan jenis wesel yang bersangkutan, sedangkan cek tanggal pembayarannya pada saat ditunjukkan pada bank, dan tidak di gantungkan pada tanggal tertentu. 

Referensi
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/27209113130.pdf  

Disusun oleh :
•    Annisa Meidiyoana (20210919)
•    Dina Munawaroh (22210064)
•    Dini Triana (22210079)
•    Laraz Sekar Arum W. (23210968)
•    Nia Ismatu Ulfa (24210956)
Kelas  : 2EB05
 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

HUKUM PERIKATAN

HUKUM PERIKATAN

Review Jurnal        :HUKUM PERIKATAN
Pengarang               : Rina  Andriana
Institusi                  : Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara
Sumber                 : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22875/6/Cover.pdf

Abstrak
Asuransi membawa misi ekonomi sekaligus sosial dengan adanya premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi dengan jaminan adanya transfer of risk, yaitu
pengalihan (transfer) resiko dari tertanggung kepada penanggung. Dalam pelaksanaannya pengikatan suatu perjanjian asuransi saat ini juga dilakukan melalui telemarketing yang berpeluang untuk timbulnya perselisihan karena pengikatan melalui telemarketing hanya berupa kesepakatan pra kontrak. Praktek perjanjian Asuransi Jiwa Melalui Telemarketing  juga dilaksanakan oleh Asuransi Jiwa BNI Life. Penulisan bertujuan untuk menjelaskan dasar hukum pengikatan asuransi jiwa melalui telemarketing pada Asuransi Jiwa BNI Life, keabsahan pengikatan asuransi melalui telemarketing Asuransi Jiwa BNI Life ditinjau dari sudut aspek hukum perjanjian / hukum perikatan dan perlindungan hukum bagi tertanggung terhadap penggunaan telemarketing dalam hukum pengikatan asuransi.Hasil penelitian menunjukkan bahwa Telemarketing merupakan penawaran/pemasaran produk asuransi jiwa media telepon yang digunakan oleh Asuransi Jiwa BNI Life dalam rangka peningkatan pemasaran produk asuransi jiwa. Akan tetapi, pengikatan asuransi melalui telemarketing hanya merupakan suatu kesepakatan prakontrak yang tidak mengikat seperti halnya polis asuransi. Kesepakatan melalui telemarketing dalam pelaksanaannya tidak menjadi suatu alat bukti karena hanya merupakan kesepakatan lisan

Kata Kunci
Asuransi Jiwa, Telemarketing dan Hukum Perikatan
I.    Pendahuluan

Didalam system pengaturan hukum perikatan dalam Buku III Kitab Undang Undang Hukum Perdata ( KUH Perdata ) menganut system terbuka, yakni setiap orang dapat mengadakan perjanjian mengenai apa pun sesuai dengan kehendaknya, artinya dapat menyimpang dari apa yang telah di teteapkan dalam Buku III KUH Perdata baik mengenai bentuk maupun isi perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
Dengan demikian, apa yang diatur dalam Buku III KUH Perdata merupakan hokum pelengkap    ( aanvullendrecht ), yakni berlaku bagi para pihak yang mengadakan perjanjian sepanjang mereka tidak mengesampingkan syarat-syarat dan isi dari perjanjian.


II.   Permasalahan

Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara dua orang ( pihak ) atau lebih, yakni pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi, begitu juga sebaliknya.Terdapat perbedaan pendapat dari beberapa ahli hokum dalam memberikan istilah hukum perikatan. Misalnya, Wiryono Prodjodikoro dan R. Subekti.
1.    Wiryono Prodjodikoro dalam bukunya   Asas-Asas Hukum Perjanjian Verbintenissenrecht ( Bahasa belanda ) oleh Wirjono diterjemahkan menjadi hokum perjanjian bukan hokum perikatan
2.    R. Subekti dalam bukunya pokok-pokok Hukum Perdata menulis perkataan perikatan mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan perjanjian , sebab di dalam Buku KUH III Perdata memuat tentang perikatan yang timbul dari :
-    Persetujuan atau perjanjian
-    Perbuatan yang melanggar hokum
-    Pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan.
Perjanjian dalam bahasa Belanda disebut overeenkomst, sedangkan hokum perjanjian disebut overeenkomstenrecht. Sementara itu, pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian, perikatan dapat terjadi karena Perjanjian ( kontrak ) dan Bukan dari perjanjian ( dari undang-undang ) Perjanjian adalah peristiwa di mana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lain untuk melaksanakan suatu hal. Dari perjanjian ini maka timbulah suatu peristiwa berupa hubungan hukum antara kedua belah pihak. Hubungan hukum ini yang dinamakan dengan perikatan.
    Dengan kata lain, hubungan perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan. Perjanjian merupakan salah satu sumber yang paling banyak menimbulkan perikatan, karena hukum perjanjian menganut sistem terbuka. Oleh karena itu, setiap anggota masyarakat bebas untuk mengadakan perjanjian.
III.  Pembahasan
A.    Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1.    Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2.    Perikatan yang timbul dari undang-undang
    Perikatan yang timbul dari undang-undang dapat dibagi menjadi dua, yakni :
a.    Perikatan terjadi karena undang-undang semata, misalnya kewajiaban orang tua   untuk memelihara dan mendidik anak, yaitu hokum kewarisan
b.    Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia menurut hukum terjadi karena perbuatan yang diperbolehkan ( sah ) dan yang bertentangan dengan hokum ( tidak sah )
3.    Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hokum dan perwakilan sukarela.

B. Asas-Asas dalam Hukum Perjanjian
        Asas-asas dalam hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni mengatur asas kebebasan berkontrak dan asa konsensualisme
1.    Asas Kebebasan Berkontrak
    Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang di buat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membutanya.Dengan demikian, cara ini dikatakan sistem terbuka, artinya bahwa dalam membuat perjanjian ini para pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjianya dan sebagai undang-undang bagi mereka sendiri, dengan pembatasan perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum , dan norma kesusilaan.
2.    Asas Konsensualisme
        Asas Konsensualisme artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.Dengan demikian, asas konsensualisme lazim disimpulkan dalam pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri ; cakap untuk membuat suatu perjanjian ; mengenai suatu hal tertentu ; suatu sebab yang halal. Dengan kata lain, dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subjektif, yakni jika salah satu pihak tidak dipenuhi maka pihak yang lain dapat minta pembatalan. Sedangkan dua syarat yang lain dinamakan syarat-syarat objektif , yakni jika salah satu syarat tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum , artinya perjanjian itu dianggap tidak pernah ada.dengan demikian , akibat dari terjadinya perjanjian maka undang-undang memnentukanbahwa perjanjian yang sah berkekuatan sebagai undang-undang. Oleh karena itu, semua persetujuan yang dibuat secra sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan kata lain persetujuan-persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain dengan adanya kata sepakat dari kedua belah pihak atau karena alasan-alasan oleh undang-undang yang dinyatakan cukup untuk itu. Maksudnya persetujuan-persetujuan itu harus dilaksanakan dengan  iktikad baik.

C. Wanprestasi
    Sementara itu,wanprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan, misalnya ia alpa ( lalai ) atua ingkar janji.adapun bentuk dari wanprestasi bisa berupa 4 kategori :
1.    tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
2.    melaksanakan apa yang dijanjiaknnya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan
3.    melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat
4.    melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Dengan demikian, terhadap kelalaian atua kealapaan debitor sebagai pihak yang melanggar kewajiban, dapat diberikan beberapa sanksi atau hukuman. Akibat –akibat wanprestasi berupa hukuman atua akibat akibat bagi debitur yang melakukan wanprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori :
1.    Membayar kerugian yang diderita oleh krediitur ( ganti rugi ). Ganti rugi sering   diperinci meliputi tiga unsure , yakni :
a)    biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b)    rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibatkan oleh kelalaian si debitor;
c)    .bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.

2.    Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian
Bertujuan untuk membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau satu pihak sudah menerima sesuatudari pihak yang lain, baik uang maupun barang maka harus dikembalikan sehingga perjanjian itu ditiadakan.
3.    Peraliahan resiko
Adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah atu pihak yang menimpa barang dan menjadi objek perjanjian sesuai dengan pasal 1237 KUH Perdata.

Hapusnya Perikatan
Perikatan itu bisa di hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan pasal 138 KUH Perdata. Ada 10 cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :
a.    pembayaran merupakan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela
b.    penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan.
c.    Pembaharuan utang
d.    Perjumpaan utang atau kompensasi
e.    Percampuran utang
f.    Pembebasan utang
g.    Musnahnya barang yang terutang
h.    Batal/pembatalan
i.    Berlakunya suatu syarat batal
j.    Lewat waktu

    Memorandum Of Understanding ( MoU )
Merupakan perkembanagan baru dalam aspek hukum dalam ekonomi, karena di Indonesia istilah MoU baru akhir-akhir ini dikenal.seblumnya , dalam ilmmu ekonomi maupun ilmu hukum tidak ada. Menurut pendapat Munir Faudi, MoU merupakan terjemahan bahasa indonesia yang paling pas dan paling dekat dengan nota kesepakatan.pada hakikatnya MoU merupakan suatu perjanjian pendahuluan yang nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara lebih detail.apabila MoU merupakan perjanjian biasa,yakni salah satu pihak ingkar janji maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan wanprestasi, tetapi kalau suatu menorandum of understanding dianggap sebagai suatu perjanjian pra kontrak maka pihak yang dirugikan tidak menuntut ganti rugi.
Ciri-ciri Memorandum of Understanding adalah sebagai berikut :
a.    isinya ringkas , sering kali hanya satu halaman saja
b.    berisikan hal-hal yang pokok-pokok saja
c.    hanya bersifat pendahuluan saja, yang akan diikuti oleh perjanjian lain yang lebih rinci
d.    mempunyai jangka waktu berlakunya ( 1 bulan , 6 bulan atau setahun )

Alasan-alasan dibuatnya momerandum of understanding adalah sebagai berikut :
a.    karena prospek bisnisnya belum jelas sehingga belum bisa dipastikan.
b.    Karena dianggap penandatanganan kontrak masih lama dengan negosisasi yang alot.
c.    Karena tiap-tiap pihak dalam perjanjian masih ragu-ragu dan perlu waktu dalam memnandatangani suatu kontrak.
d.    Dibuat dan di tanda tangani oleh para eksekutif dari suatu perusahaan maka perlu suatu perjanjian uyang lebih rinci yang dirancang dan dinegosiasi khusus oleh staf-staf yang berkaitan.

Tujuan momerandumof understanding
    Di dalam suatu perjanjian yang didahului dengan membuat mou dimaksudkan supaya memberikan kesempatan kepadapihak yang bersepakat untuk memperhitungkan apakah saling menguntungkan atau tidak jika diadakan kerja sama, sehinga agar memorandum of understanding dapat ditindaklanjuti dengan perjanjian dan dapat diterapkan sanksi-sanksi.jika salah satu pihak melakukan wanprestasi, tetapi jika sanksi-sanksi sudah dicantumkan dalam memorandum of understanding akan berakibat bertentangan dengan hukum petjanjian/perikatan, karena dalam mof belum ada suatu hubungan hukum antara para pihak , yang berarti belum mengikat.
    Dalam hukum perjanjian kedudukan mof baik yang mengandung karakter sebagai kontrak atau tidak mengandung kontrak hanyalah sebagai tahap pendahuluan untuk mengadakan perikatan, sehingga belum mengikat para pihak dan sanksi pun belum dapat diberlakukan.


IV.  Kesimpulan
Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.



Referensi
http://www.scribd.com/doc/20976269/Definisi-Hukum-Perikatan
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22875/6/Cover.pdf

Disusun Oleh :
•    Annisa Meidiyoana (20210919)
•    Dina Munawaroh (22210064)
•    Dini Triana (22210079)
•    Laraz Sekar Arum W. (23210968)
•    Nia Ismatu Ulfa (24210956)
Kelas  : 2EB05

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Review Jurnal Hak Atas Kekayaan Intelektual

Review Jurnal Hak Atas Kekayaan Intelektual

Review Jurnal           : Implementasi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada Industri Batik di   Pekalongan

Pengarang    : Siti Asadah Hijriwati dan Esmara Sugeng
Institusi            : Fakultas Hukum Univ. Pekalongan
Abstrak
HKI adalah hak yang timbul sebagai akibat dari manusia karya tindakan kreatif menghasilkan inovatif yang dapat diterapkan dalam kehidupan manusia. Sebagai hak eksklusif, perlindungan Hak Kekayaan Intelektual pada mulanya merupakan bentuk perlindungan yang diberikan oleh Negara bagian ide atau hasil karya warga negaranya, dan karena itu hak atas Kekayaan Intelektual adalah kenegaraan fundamental teritorial. Pengakuan Hak Kekayaan Intelektual perlindungan di sebuah Negara tidak berarti perlindungan Hak Kekayaan Intelektual di Negara lain. Pelaksanaan ketentuan mengenai Hak Kekayaan Intelektual telah dilaksanakan tetapi belum maksimal hal ini disebabkan karena persepsi masyarakat yang beragam di satu sisi banyak yang menganggap HKI belum diperlukan karena akan membatasi seseorang untuk berbuat baik kepada sesama manusia, tetapi ada juga orang yang sudah mulai menyadari pentingnya HKI sehingga berusaha melindungi HKI dalam hal ini adalah Hak Cipta dan Merek Dagang Hak. Namun dalam pelaksanaan HKI ada juga kendala yang menyertai system pemasaran yang belum baik, sering mengubah-ubah bahwa motif serta modal terbatas dan sumber daya manusia.


Pendahuluan
Masyarakat Pekalongan tidak dapat dilepaskan dari batik, karena batik merupakan urat nadi perekonomian masyarakat pekalongan, batik dan masyarakat pekalongan dapatlah diibaratkan “dua sisi mata uang”. Batik yang diusahakan oleh masyarakat Pekalongan sebagai sebuah industri dapat diusahakan dalam skala kecil berupa industry rumahan atau industry rumah tangga sebagai mata pencaharian maupun dalam skala besar sebagai sebuah perusahaan yang dikelola secara modern dengan manajemen yang baik. Sebagai tumpuan kegiatan ekonomi masyarakat, industri batik pernah mengalami masa kejayaan pada dekade 1960 - 1970-an. Sampai sekarang industri batik masih menjadi tumpuan kegiatan ekonomi sebagian besar masyarakat Pekalongan. Hasil produksi batik Pekalongan tidak hanya dipasarkan di pasar lokal saja, namun telah menembus pasar internasional.

                                                              
Landasan Teori

Bagi Indonesia, sikap dan budaya masyarakatnya kadang justru menjadi kendala dan penghalang serta sulit untuk mendukung penerapan dan penegakan hukum dibidang ini. Keadaan semacam ini harus dikoreksi dan terus diarahkan sehingga budaya menghargai HKI dapat ditegakkan secara realistik. Karena jika keadaan rendahnya penghargaan terhadap HKI ini terus berlangsung, selain akan berdampak hilangnya iklim kreatifitas, dan terlanggarnya hak-hak individu yang sangat fundamental, juga akan berakibat terkucilnya Negara dari dunia internasional.
Bagi industri berbasis kerakyatan seperti industri batik yang penuh dengan kreatifitas ketentuan-ketentuan HKI dalam TRIPs ini sangat memberikan kepastian hukum. Akan tetapi bagi kebanyakan masyarakat Pekalongan, Ciptaan atau kreatifitas mereka berfungsi sosial, dan meraka akan merasa bangga jika hasil karya mereka banyak yang meniru. Bahkan dalam era perdagangan bebas sekarang inipun penjualan hasil karya mereka dilakukan tanpa label, dan pihak pembeli dengan leluasa malakukan llabeling atas nama mereka. Dengan demikian kreatifitas mereka menjadi milik orang lain dengan mudah. Oleh karena itu penegakkan hukum dibidang Hak Cipta pada industri batik di Pekalongan mutlak diperlukan, mengingat seni batik merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi oleh Hak Cipta.
Metode Penelitian

Metode penulisan review jurnal ini menggunakan metode pendekatan Sosio Legal Research. Pengunaan metode sosio legal research disamping metode penelitian normatif akan memberi bobot lebih pada penelitian yang bersangkutan dan merupakan penelitian deskriptif sosiologi.
Pembahasan
A.    Implementasi Hak atas Kekayaan Intelektual Khususnya Hak Cipta pada Industri Batik di Pekalongan
Bagi industri batik di Pekalongan keharusan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan tentang Hak atas Kekayaan Intelektual harus dihadapi secara khusus, karena pada umumnya pelaku usaha dibidang batik sebelumnya tidak pernah berfikir untuk memberikan perlindungan hukum terhadap kreasi-kreasi mereka berupa desain batik. Untuk itu hal yang pertama dilakukan oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UMKM Kota Pekalongan adalah melaksanakan sosialisasi Hak Kekayaan Intelektual khusunya Hak Cipta dan Merek, yang sangat berkaitan sekali dengan dunia industri batik dan dikaitkan dengan diberlakukannya konsep perdagangan bebas. 
B.      Kendala-kendala dalam Implementasi HKI pada Industri Batik
1.      Pemasaran
Pelaksanaan ketentuan-ketentuan mengenai Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) di atas, ternyata yang menjadi kendala utama adalah aspek pemasaran. Meskipun tidak tertulis antara produsen dan konsumen telah terjadi semacam perjanjian agar produk batik yang masih berupa kain tidak boleh diberi label / nama pada kainnya sehingga pembeli bisa bebas menjual kembali. Sebagai contoh, rumah batik terkenal macam Danar Hadi sering “kulakan” ke produsen-produsen batik di Pekalongan, kadang juga memesan khusus untuk Danar Hadi.
Konsep pemasaran seperti itu telah berlangsung secara turun temurun. Bagi mereka agar usaha dapat terus berlangsung konsumen merupakan hal yang sangat penting, sehingga para produsen batik ini selalu mencari bagaimana agar konsumen tetap setia untuk membeli produk mereka ditengah persaingan industri khususnya batik yang semakin ketat, meskipun mereka harus menagabaikan perlindungan hukum pada produk mereka.
2.      Trend Motif
Batik Pekalongan merupakan batik yang dinamis, terlihat dari warna yang menyala dan ragam motif yang selalu mengikuti perkembangan permintaan pasar. Perkembangan permintaan pasar akan motif-motif baru berlangsung sangat cepat. Hanya dalam waktu tidak lebih dari tiga bulan, trend motif sudah berubah. Apabila produsen tidak segera menyikapi kondisi pasar yang demikian, maka produknya tidak akan laku karena sudah ketinggalan mode. Dampak positif dari kondisi pasar seperti ini adalah ide kreatif para pengrajin terpacu untuk menghasilkan karya-karya baru.
Tempo perubahan permintaan pasar akan motif-motif baru yang sangat cepat dan tempo pengurusan pendaftaran Hak cipta maupun Merek yang relatif lama dalam praktek, membuat para produsen batik enggan untuk mendaftarkan karya desain batik mereka. Dalam perhitungan isnis juga dikatakan tidak “cucuk” karena apabila proses pendaftaran selesai permintaan pasar sudah berubah. Jadi boleh dikatakan percuma didaftarkan, dilindungi, karena tidak ada yang akan meniru motif yang didaftarkan tersebut sebab pasar tidak menghendaki lagi.
3.      Modal dan Sumber Daya Manusia
Pelaku industri batik banyak diantaranya dikerjakan oleh pengrajin batik. Para pengrajin ini mempunyai keahlian dalam membatik, namun tidak mempunyai modal untuk berusaha. Peran mereka dalam industri perbatikan adalah menjadi buruh batik pada perusahaan-perusahaan batik besar yang ada. Ditangan para buruh batik yang juga merupakan para pengrajin batik inilah berbagai ragam hias desain batik dihasilkan. Pengusaha batik dengan modal besar biasanya hanya menyerahkan motif/desain batik kepada pengrajin yang menjadi buruh mereka, kecuali motif yang sudah dipesan.
Pengrajin batik yang bekerja sebagai buruh batik diupah berdasarkan hasil yang dia peroleh perharinya, dengan nilai relatif kecil. Kehidupan pengrajin yang serba pas-pasan untuk hidup tidak memungkinkan mereka berfikir untuk mendapatkan perlindungan hukum atas hasil kreasi mereka berupa desain batik.
C.    Persepsi Pelaku Industri Perbatikan Terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI)
Persepsi masyarakat Pekalongan terhadap Hak Kekayaan Intelektual dapat dianalisis dari dua sudut pandang yaitu persepsi tradisional dan persepsi modern, dimana kalau dilihat ada pergeseran susut pandang mengenai HKI dalam masyarakat.
1.      Persepsi Tradisional Industri terhadap Merk
Kurangnya pemahaman kalangan industri terhadap HKI inklusif Hak Cipta dan Hak Merek tidak terlepas dari perkembangan HKI itu sendiri, masalah perlindungan terhadap HKI juga masih jauh dari harapan sehingga menimbulkan berbagai permasalahan. Kalangan industri belum begitu yakin akan perlindungan hukum terhadap merek yang dimilikinya tidak akan dimanfaatkan (dipalsu) oleh pihak lain untuk kepentingan mendapatkan keuntungan.
Dengan banyaknya permasalahan yang berkaitan dengan HKI membuka mata banyak kalangan, bahwa persepsi mereka selama ini terhadap sebuah merek ternyata keliru karena melalui sebuah merek, maka mereka dapat menjalin ikatan emosional dengan konsumen sehingga menimbulkan kesan fanatisme dan sugestif terhadap produk yang bermerek.
2.      Persepsi Modern Kalangan Industri terhadap HKI
Persepsi modern kalangan industri terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) inklusif Hak Cipta dan Hak Merek tidak terlepas dari semakin gencarnya kampanye mengenai pengembangan dan perlindungan HKI, sehingga membangkitkan kesadaran para pelaku industri betapa pentingnya HKI dalam menunjang kelangsungan usahanya.
Perlunya HKI juga disadari oleh kalangan industri akan identitas bagi produknya sehingga dapat dikenal oleh konsumen dan dapat menimbulkan ikatan emosional dari konsumen yang pada akhirnya menumbuhkan kesan sugestif terhadap produk tersebut. Dengan semakin majunya perdagangan menjadikan pelaku usaha Pekalongan menjadari akan pentingnya HKI inklusif Hak Cipta dan Hak Merek, sehingga mendorong mereka untuk mendapatkan HKI guna mengamankan produk mereka dan memenangkan kompetisi persaingan.
Kesimpulan
a.     Implementasi Hak Kekayaan Intelektual pada Industri batik di Pekalongan belum sepenuhnya dapat diterapkan, hal itu dikarenakan basis dari usaha batik di Pekalongan sebagian besar adalah kalangan industri rumah tangga, disamping itu pemahaman mereka akan hak kekayaan intelektual masih sangat kurang.
b.     Dalam implementasi HKI khususnya pada industry batik banyak menemui kendala, kendala yang banyak muncul seperti sistem pamasaran, trend mode, modal dan sumber daya manusia.
c.     Persepsi kalangan usaha batik pekalongan akan pentingnya HKI selama ini masih belum menyeluruh bagi sebagian pihak ternasuk golongan “wong kaji”, mereka percaya bahwa rejeki sudah ada yang mengatur, tetapi banyak kalangan pengusaha batik yang sudah menyadari akan pentingnya HKI, karena bagi mereka HKI membawa manfaat dan mendatangkan keuntungan yang berlipat-lipat.
Referensi

Disusun Oleh :
  • Annisa Meidiyoana             (20210919)
  • Dina Munawaroh                 (22210064)
  • Dini Triana                               (22210079)
  • Laraz Sekar Arum W             (23210968)
  • Nia Ismatu Ulfa                       (24210956)
Kelas  : 2EB05

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Review Jurnal PRAKTEK MONOPOLI DI INDONESIA PRA DAN PASCA UU NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT


Review Jurnal    : PRAKTEK MONOPOLI DI INDONESIA PRA DAN PASCA UU NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
Pengarang          : Pandu Soetjiptro
Institusi                : Universitas Diponegoro
Sumber                : http://eprints.undip.ac.id/18669/1/PANDU_SOETJITRO.pdf
ABSTRAK
Penulisan ini didasarkan pada praktek Monopoli dan Persaingan tidak sehat atau persaingan curang diantara para pelaku usaha di Indonesia sejak masa orde baru bahkan sampai saat inipun dampaknya masih sangat merugikan konsumen dan pelaku bisnis yang lain, khususnya bagi industri yang kurang bonafit secara finansial meskipun persaingan itu sendiri sangat diperlukan dalam berbagai jenis usaha untuk menambah kreatifitas, efektifitas dan daya saing dalam industry itu sendiri. Tetapi karena sistem birokrasi dan perekonomian di Indonesia sarat dengan sistem persekongkolan yang tidak sehat maka persaingan itu sendiri menjadi terdistorsi. Kesempatan yang diperoleh oleh industri kecil untuk mendapat akses dan masuk kedalam industri dan pasar yang ada sangat minim, tetapi yang sangat menguntungkan bagi industri kecil mereka masih dapat eksis karena memiliki keistimewaan produksinya tidak bisa ditiru oleh pengusaha industri besar. Menggunakan tenaga kerja sendiri dengan upah yang sangat rendah bahkan dapat dikerjakan oleh keluarganya sendiri serta mempunyai akses bahan baku yang murah dan sederhana.
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui dan memperoleh kejelasan tentang latar belakang terjadinya praktek monopoli maupun persaingan tidak sehat yang berlaku dalam proses bisnis di Indonesia, baik itu bisnis dalam bentuk konglomerasi maupun dalam bentuk industri kecil serta untuk memperoleh penjelasan adakah terjadi perubahan kondisi persaingan bisnis di Indonesia sesudah adanya UU No.5 tahun 1999.
Hasil penulisan ini menunjukkan bahwa sebenarnya monopoli dan persaingan dapat berjalan secara seiring dalam kegiatan bisnis, karena monopoli bisa bersifat ”natural” yaitu dari kegiatan bisnis yang kecil dapat menjadi bisnis yang besar atau sekaligus bisnis raksasa. Hanya kendalanya Industri Kecil di Indonesia masih berjalan secara tradisional dan kurang greget mencari akses untuk modal maupun pemasarannya.
Oleh karena itu dapat direkomendasikan bahwa pemerintah harus terus memperbaiki struktur perekonomian Indonesia agar pelaku bisnis dapat berkompetisi secara fair, sistem birokrasi prekonomian harus ditata dengan lebih baik serta memberikan pembinaan dan akses masuk kedalam “industri” kepada pelaku bisnis dengan modal lemah/ industri kecil.

PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Penulisan
Dalam dunia usaha, persangan harus dianggap positif. Dalam Teori Ilmu Ekonomi, persaingan yang sempurna adalah suatu kondisi pasar yang ideal. Paling tidak ada empat asumsi yang melandasi agar terjadinya persaingan yang sempurna pada suatu pasar tertentu. Asumsi tersebut adalah:
1.      Pelaku usaha tidak dapat menentukan secara sepihak harga produk atau jasa,
2.      Barang dan jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha mempunyai kebebasan untuk masuk ataupun keluar dari pasar
3.      Pelaku usaha mempunyai kebebasan untuk masuk atau keluar dari pasar “perfect mobility of resource”
4.      Konsumen dan pelaku pasar memiliki informasi yang sempurna tentang berbagai hal
Persaingan memberikan keuntungan kepada para pelaku usaha maupun kepada konsumen. Dengan adanya persaingan maka pelaku usaha akan berlomba-lomba untuk terus memperbaiki produk ataupun jasa yang dihasilkan sehingga pelaku usaha terus menerus melakukan inovasi dan berupaya keras memberi produk atau jasa yang terbaik bagi konsumen. Disisi lain dengan adanya persaingan maka konsumen sangat diuntungkan karena mereka mempunyai pilihan dalam membeli produk atau jasa tertentu dengan harga yang murah dan kualitas baik.
Dibeberapa negara, hukum persaingan dikenal dengan istilah, “Antitrust Laws” atau antimonopoli. Di Indonesia istilah yang sering digunakan adalah hukum persaingan atau anti monopoli. Di Indonesia hukum anti monopoli diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan prakek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Undang-undang ini merupakan pengaturan secara khusus dan komprehensif yang berkaitan dengan persaingan antar pelaku usaha.
Munculnya persaingan menjadikan setiap pelaku pasar dituntut untuk terus menemukan metode produksi yang baru untuk memperbaiki kualitas dan harga barang maupun jasa yang dihasilkannya, sehingga terciptalah efisiensi ekonomi, yang berarti pelaku usaha dapat menjual barang dengan harga yang wajar. Hukum persaingan diciptakan dalam rangka mendukung terbentuknya sistem ekonomi pasar, agar persaingan antar pelaku usaha dapat tetap hidup dan berlangsung secara sehat, sehingga konsumen dapat terlindungi dari ajang ekploitasi bisnis.
Pada tanggal 5 Maret 1999 telah diundangkan Undang-undang Republik Indonesia No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Undang-undang Anti Monopoli). Pasal 3 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa tujuan pembentukan Undang-undang ini adalah untuk :
1.                Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,
2.                Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui persaingan usaha yang sehat sehinggan menjamin adanya kepastian kesempatan yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil,
3.                Mencegah praktek monopoli atau praktek usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha,
4.                Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha
Sehubungan dengan lahirnya Undang-undang no.5 tahun 1999 maka Indonesia harus menata kembali kerangka perekonomiannya, yang selama 32 tahun terpola seperti yang diinginkan oleh Pemerintah Orde Baru, dimana perekonomian Indonesia bergantung sepenuhnya pada kebijakan penguasa pada saat itu.

LANDASAN TEORI
Penelitian ini dimulai dari pembahasan tentang hukum persaingan dan monopoli, peran dunia usaha, industri kecil serta ketentuan-ketentuan dalam UU No.5 th 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Pengertian “persaingan” berasal dari kata “saing” kata saing mempunyai persamaan kata dengan “lomba” (atau mengatasi, dahulu mendahului) sehingga kata “persaingan” mempunyai arti usaha memperlihatkan keunggulan masing-masing yang dilakukan oleh perorangan (perusahaan Negara pada bidang perdagangan produksi, persenjataan dan sebagainya).
Marshall C. Howard berpendapat bahwa persaingan merupakan istilah umum yang dapat digunakan untuk segala sumber daya yang ada. Persaingan adalah “jantungnya” ekonomi pasar bebas. Menurut teori, suatu sistem ekonomi pasar bebas memiliki ciri : adanya persaingan, bebas dari segala hambatan, tersedianya sumber daya yang optimal. Dengan adanya persaingan, pelaku usaha dipaksa untuk menghasilkan produk-produk berkualitas.
Dalam upaya merebut konsumen sebanyak-banyaknya pelaku usaha yang menghasilkan barang selalu berusaha memperbaiki mutu barang sejenis agar lebih laku dipasaran. Dalam menghadapi persaingan, pelaku usaha selalu berusaha melakukan diversifikasi dan ekstensifikasi usaha, oleh karena itu tidak mengherankan apabila pelaku usaha berhasrat menguasai berbagai sektor industri strategis, mulai dari industri hulu hingga hilir, sehingga salah satu dampak negatif dari persaingan adalah kepemilikan suatu usaha berada dalam satu tangan (konglomerat) sehingga ia bisa mengendalikan pasar yang akhirnya akan mengarah pada iklim persaingan yang tidak sehat.
Membahas mengenai hukum persaingan yang merupakan salah satu bagian dari hukum ekonomi, tentu tidak akan lepas dari pembahasan dari mengenai Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 yang berfungsi sebagai panduan normatif dalam menyusun kebijakan-kebijakan ekonomi nasional. Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 tersirat bahwa tujuan pembangunan ekonomi yang hendak dicapai haruslah berdasarkan kepada demokrasi yang bersifat kerakyatan yaitu adanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, melindungi kepentingan rakyat melalui pendekatan kesejahteraan dengan membiarkan mekanisme pasar berjalan dengan bebas, memberikan petunjuk bahwa jalannya perekonomian nasional tidak diserahkan begitu saja kepada pasar, tetapi memerlukan peaturan perundang-undangan untuk mengatur jalannya perekonomian nasional.
Pengaturan perekonomian dengan perundang-undangan tujuannya adalah untuk menciptakan struktur ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Pengaturan tersebut untuk menghindari kemungkinan terjadinya hal-hal sebagai berikut :
a.                   Sistem Free Fight Liberalism yang dapat menumbuhkan eksploitasi manusia dan bangsa lain, yang dalam sejarahnya di Indonesia telah menimbulkan kelemahan struktur ekonomi nasional dalam posisi Indonesia dalam percaturan ekonomi dunia.
b.                  Sistem etatisme dalam arti bahwa negara berserta aparatur ekonomi Negara bersifat dominan, mendesak dan mematikan potensi serta daya kreasi unit-unit ekonomi diluar sektor negara.
c.                   Persaingan tidak sehat serta pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok dalam berbagai bentuk monopoli dan monopsoni yang merugikan masyarakat dan bertentangan dengan cita-cita keadilan social.
Praktek monopoli akan terjadi bila :
  1. Monopoli diberikan kepada satu atau beberapa perusahaan tertentu saja, tanpa melalui Undang-undang.
  2. Monopoli atau kedudukan monopolistik diperoleh dari kerjasama antara dua atau lebih organisasi sejenis baik dalam bentuk pengaturan persaingan diantara mereka sendiri maupun dalam bentuk peleburan atau fusi.

METODELOGI
Penulisan ini membutuhkan data yang akurat yang dititikberatkan kepada data primer dari instansi yang terkait dan data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan sehingga permasalahan pokok yang diteliti dapat dijawab secara tuntas. Penulis mengemukakan metode sebagai berikut:
  1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan yuridis empiris karena penulisan ini dimaksudkan untuk membahas secara teoritik mengenai praktek monopoli dan persaingan serta pengaruhnya bagi persaingan usaha serta pengaturannya dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Penelitian yuridis empiris dilakukan dengan cara meneliti data yang diperoleh langsung dari masyarakat atau data primer dengan cara melakukan pengambilan data dari instansi terkait.

  1. Spesifikasi Penelitian
Penulisan ini bersifat diskriptif analistis karena secara spesifik penelitian ini bertujuan memberikan gambaran mengenai praktek monopoli di Indonesia dan pengaruhnya terhadap persaingan usaha serta pengaturannya sebelum dan sesudah lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sehingga dari analisis ini dapat diperoleh kesimpulan umum mengenai persaingan bisnis yang paling ideal dan tidak mengakibatkan monopoli atau persaingan usaha tidak sehat
  1. Sumber Data
Sumber data yang digunakan untuk penulisan ini adalah Library Research.

PEMBAHASAN
  1. Praktek Monopoli Sebelum dan Sesudah Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Monopoli adalah ciri khas bisnis pada Era Orde Baru yang berdampak sangat merugikan bagi perkembangan bisnis dan ekonomi di Indonesia. Kata monopoli berasal dari bahasa Yunani yang berarti penjual tunggal. Di Amerika sering digunakan istilah anti trust untuk pengertian yang sepadan dengan “anti monopoli” atau istilah dominasi yang sering dipakai oleh masyarakat Eropa, yang artinya sepadan dengan istilah monopoli. monopoli sebagai suatu keistimewaan yang berupa hak eksklusif dalam menjalankan perdagangan atau dalam memproduksi barang khusus, serta dapat mengontrol penjualan dan distribusi produk tertentu.
Ciri khas pemerintah Orde Baru adalah lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi dari pada pembenahan masalah Negara yang lain, misalnya perbaikan masalah hukum. Dalam perekonomian ada beberapa aktor pelaku pasar yaitu pelaku usaha atau perusahaan dan asosiasi bisnis atau asosiasi pelaku usaha yang juga memainkan peranan penting dalam berbagai industri.
Asosiasi bisnis atau trade association menjadi wadah bagi para pelaku usaha untuk berkomunikasi di antara pelaku usaha dalam industri yang sama dan berpengaruh dalam penentuan kebijakan anggota dan industri mereka. Eksistensi asosiasi bisnis dibutuhkan dan intens digunakan sebagai wadah untuk pelatihan, komunikasi, mencari peluang bisnis, kerjasama, medium komunikasi dengan pemerintah, sumber informasi, mencari peluang pasar baru, menetapkan standar regulasi industri, menetapkan aturan atau perjanjian dalam bisnis bahkan melihat strategi atau peluang apa yang terbuka dalam menembus pasar global.
Sering secara umum pelaku usaha dalam asosiasi melakukan kesepakatan di antara mereka sendiri. Perjanjian diantara mereka tidak semuanya berakibat negatif bagi persaingan dan mungkin saja menghasilkan keuntungan. Perjanjian yang dilakukan dapat ditujukan untuk mengurangi risiko usaha, menciptakan efisiensi dan mendorong inovasi, efisiensi biaya ketika melakukan riset penelitian bersama sampai pada pengembangan jaringan distribusi.
Pelaku usaha dan pesaing dapat juga berjanji untuk membatasi produksi sehingga akan menyebabkan harga naik, menetapkan harga yang sama, dan merugikan kepentingan konsumen  dan perekonomian. Tindakan bersama antara beberapa pelaku usaha dan pesaingnya membentuk oligopoli informal baru yang menghasilkan beberapa pemain yang mendominasi pasar dan selanjutnya menciptakan distorsi pasar yang akan menciptakan juga monopolis baru.
Ada lagi beberapa kegiatan yang dilakukan oleh dan difasilitasi oleh asosiasi pelaku usaha yang sifatnya anti persaingan. Sebagaimana diatur dalam konteks UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, kegiatan lain itu misalnya Penetapan Harga (price fixing). Sesuai dengan isi pasal 5 ayat (1) UU No.5 tahun 1999 penetapan harga didefinisikan sebagai berikut : “bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan / atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama”.

  1. Prospek UU No. 5 Tahun 1999 Dalam Mencegah Terjadinya Praktek Monopoli
Tujuan UU Antimonopoli Indonesia adalah menjaga kepentingan umum, meningkatkan efisiensi ekonomi nasional, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menciptakan iklim usaha yang kondusif melalui persaingan sehat, mewujudkan kegiatan usaha yang efektif dan efisien dengan melarang monopoli.
Ketentuan UU Antimonopoli baru dapat diterapkan kepada pelaku usaha yang membuat perjanjian jika perjanjian tersebut mempunyai akibat terhadap pasar yang bersangkutan, yaitu terjadi praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian yang bersifat rule of reason adalah ketentuan pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 11, pasal 16, pasal 22, pasal 23, dan pasal 24. Perjanjian horisontal yang ditetapkan di dalam UU Antimonopoli adalah sebagai berikut :
·                                 Penetapan Harga
Ketentuan pasal 5 ayat 1 adalah apa yang dikenal dengan larangan price fixing secara horisontal. Ketentuan pasal 5 ayat 1 tersebut adalah suatu larangan yang per se. artinya, para pelaku usaha otomatis ditindak oleh KPPU, jika mereka membuat perjanjian penetapan harga, tanpa memperhatikan apakah akan terjadi persaingan usaha tidak sehat atau tidak sebagai akibat penetapan harga tersebut, karena yang mengalami akibat dari perjanjian tersebut adalah konsumen/pembeli.
Dengan demikian harga yang di bayar oleh konsumen / pembeli bukanlah harga yang ditentukan oleh persaingan antar pelaku usaha, dan melalui proses antara permintaan dan penawaran, melainkan karena ditetapkan oleh para pelaku usaha yang membuat perjanjian price fixing tersebut.
Penetapan harga suatu barang atau jasa tertentu ditetapkan berdasarkan banyak faktor, dan dalam sistem ekonomi pasar penetapan harga juga ditentukan oleh persaingan antar pelaku usaha pesaing. Menurut prinsip dasar persaingan usaha, harga atas suatu barang atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen tidak boleh ditetapkan oleh siapapun, termasuk asosiasi-asosiasi ekonomi seperti INACA.

·                                 Diskriminasi Harga dan Diskon
Larangan penetapan diskriminasi (price discrimination) disebutkan dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Pasal 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama.
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 tersebut, diskriminasi harga dilarang apabila pelaku usaha membuat suatu perjanjian dengan pelaku usaha lain yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar harga yang tidak sama atau berbeda dengan harga yang harus dibayar pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama, karena hal ini dapat menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat di kalangan pelaku usaha atau dapat merusak persaingan usaha.
Dalam hal ini terdapat tiga jenis dan tingkatan strategis diskriminasi harga, di mana setiap tingkatan menuntut informasi yang berbeda mengenai konsumen, yaitu:
*        Diskriminasi harga sempurna
Di mana produsen akan menetapkan harga yang berbeda untuk setiap konsumen. Dengan menerapkan strategi ini, produsen akan menyerap seluruh surplus konsumen, sehingga dapat mencapai laba yang paling tinggi.
*        Diskriminasi tingkat harga kedua,
Pada strategi ini produsen menerapkan harga yang berbeda untuk setiap pembelinya berdasarkan jumlah barang yang dibeli. Pembeli yang bersedia membeli barang lebih banyak diberikan harga per unit yang lebih murah.
*        Diskriminasi harga umumnya ditetapkan produsen yang mengetahui bahwa permintaan atas produk mereka beragam secara sistematik berdasarkan karakteristik konsumen dan kelompok demografis.

·                                 Pembagian Wilayah Pasar
Pembagian wilayah pasar di antara pelaku usaha yang saling bersaing merupakan salah satu bentuk perjanjian horisontal (kartel) yang dilarang oleh UU Antimonopoli. Ketentuan pasal 9 menetapkan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau lokasi pasar terhadap barang dan / atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan / atau persaingan usaha tidak sehat.
Unsur yang harus dipenuhi dari ketentuan pasal 9 adalah bahwa pelaku usaha harus saling bersaing pada pasar yang sama dan membuat suatu perjanjian pembagian wilayah pemasaran. Akibat dari kesepakatan pembagian wilayah pemasaran tersebut, wilayah pemasaran masing-masing pelaku usaha menjadi terbatas.

·                                 Pemboikotan
Pemboikotan salah satu hambatan persaingan diatur di dalam ketentuan pasal 10 UU Antimonopoli. Syarat-syarat terpenuhinya suatu pemboikotan adalah saat para pelaku usaha yang saling bersaing pada pasar yang sama membuat suatu perjanjian diantara mereka. Perjanjian yang dibuat mempunyai akibat bagi pelaku usaha yang lain, yaitu menghambat untuk masuk kepasar yang bersangkutan (pasal 10 ayat 1). Hal yang lazim dilakukan dalam pemboikotan adalah pemboikotan pemasaran atau pembelian suatu barang atau jasa tertentu yang dilakukan oleh pelaku usaha yang saling bersaing sehingga merugikan pelaku usaha yang lain (pasal 10 ayat 2).

·                                 Penetapan Jumlah Produksi
Ketentuan pasal 11 mengatur larangan pengaturan jumlah produksi dan / atau pemasaran suatu barang atau jasa tertentu yang bermaksud untuk mempengaruhi harga yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan / atau persaingan usaha tidak sehat. Ketentuan pasal 11 tersebut dapat dikenakan, jika pelaku usaha yang saling bersaing membuat perjanjian yang menetapkan jumlah produksi atau pemasaran barang tertentu. Perjanjian tersebut harus mempunyai tujuan, yaitu untuk melakukan kegiatan koordinasi produksi dan pemasaran yang mempengaruhi harga barang atau jasa tertentu yang mengganggu (menghambat) persaingan pada pasar yang bersangkutan. Unsur-unsur ketentuan pasal 11 adalah:
*        Adanya perjanjian di antara pelaku usaha
*        Mengatur jumlah produksi
*        Mengatur pemasaran suatu barang dan/atau jasa
*        Bermaksud untuk mempengaruhi harga
*        Dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

·                                 Persekongkolan
Persekongkolan yang ditetapkan di dalam pasal 22 sampai pasal 24 mengenai pengaturan tender, tukar menukar informasi, dan hambatan masuk pasar menunjukkan bahwa UU Antimonopoli juga mengenal unsur yang disebut saling menyesuaikan perilaku pasar pelaku usaha (kegiatan kolusif).
Persekongkolan merupakan perjanjian horisontal yang dilakukan tanpa membuat suatu perjanjian tertulis. Sejauh mana pembuktian suatu kegiatan persekongkolan, dapat dilihat dari kondisi pasar yang bersangkutan, yaitu terhambatnya persaingan diantara pelaku usaha karena penyesuaian perilaku pelaku usaha yang satu yang diikuti secara sengaja (sadar) oleh pelaku usaha yang lain untuk mencapai tujuan yang sama.
Pasal 22 mengatur larangan persekongkolan antara pelaku usaha dengan pihak lain untuk mengatur dan / atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Persekongkolan yang biasanya dilakukan dalam tender adalah untuk mempengaruhi harga yang akan ditawarkan oleh peserta tender. Yang menjadi penghambat dalam penerapan pasal 22 tersebut adalah ketentuan pasal 1 angka 8, yang menetapkan bahwa persekongkolan atau konspirasi bentuk kerja sama antara pelaku usaha yang satu dengan yang lain untuk menguasai pasar yang bersangkutan bagi pelaku usaha yang bersekongkol.
Ketentuan pasal 23 mengatur hambatan persaingan melalui tukar menukar informasi antara pelaku usaha dengan pihak lain (pihak ketiga). Diasumsikan pihak ketiga memberikan informasi pelaku usaha yang bersifat rahasia secara strategis yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.
Persekongkolan yang ditetapkan pasal 24 sebenarnya adalah suatu larangan tindakan pemboikotan seperti yang ditetapkan di dalam pasal 10. Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan / atau pemasaran barang dan / atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan barang atau jasa pesaingnya berkurang pada pasar yang bersangkutan, baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
Dalam aspek perilaku ini ditelusuri bentuk praktek yang tidak lazim dilihat dan standar persaingan yang sehat dan jujur. Berbagai tindakan dan upaya secara tidak sehat untuk menyingkirkan pelaku usaha lainnya (misalnya trust, kartel, price fixing, diskriminasi harga, pembagian wilayah, dll) biasa dimasukkan kedalam praktek monopoli dan persaingan tidak sehat.

RESUME
           Monopoli dan Persaingan Usaha merupakan hal biasa dalam kegiatan ekonomi. Sejauh kegiatan itu dilakukan dalam rambu-rambu hukum, implikasi penerapan monopoli dan persaingan usaha tidak bisa dihindari dalam mekanisme ekonomi pasar. Hanya bedanya apa yang terjadi sebelum adanya Undang-undang No.5 Tahun 1999 praktek-praktek monopoli maupuan persaingan tidak diatur dalam koridor hukum yang seharusnya.
           Sesudah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 Praktek Monopoli dalam kegiatan bisnis dilarang jika terbukti merugikan pelaku usaha lain, konsumen, masyarakat maupun negara. Undang-undang No. 5 Tahun 1999 menegaskan larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat diantara para pelaku usaha dapat diancam dengan sanksi administratif dan sanksi pidana. Ketentuan Undang-udang No. 5 Tahun 1999 telah memenuhi prinsip Undang-undang Anti Monopoli dalam mengatur Struktur Pasar dan perilaku bisnis, karena memuat gabungan dua pengaturan yang di masukkan dalam satu kitab per undang-undangan baik itu mengenai Undang-undang Anti Monopoli maupun peraturan perundangan yang menyangkut persaingan usaha atau Competition Act.
           Penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia diserahkan kepada Komisi Pengawas Persaingan usaha (KPPU), selain keterlibatan aparat Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Penegakan pelanggaran hukum persaingan harus dilakukan terlebih dahulu melalui KPPU. penegakan hukum persaingan usaha dapat dilakukan oleh Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan saja. Karena Pengadilan merupakan tempat penyelesaian perkara resmi yang dibentuk oleh negara. Namun untuk hukum persaingan usaha, pada tingkat pertama penyelesaian sengketa antar pelaku usaha tidak dapat dilakukan oleh pengadilan. Alasannya adalah karena hukum persaingan usaha membutuhkan orang-orang yang memiliki latar belakang dan/atau mengerti betul seluk beluk bisnis dalam rangka menjaga mekanisme pasar.
           Pelaksanaan Undang-undang No.5 Tahun 1999 yang akan diterapkan pada pelaku usaha yang melakukan praktek monopoli maupun praktek persaingan curang harus dilaksanakan dengan berbagai pertimbangan efektifitas yang tepat. Sehingga tidak mengganggu kepentingan efisiensi jalannya ekonomi negara secara keseluruhan, tetapi tetap harus mengutamakan persaingan usaha yang sehat dan jujur.


REFERENSI             

Disusun Oleh :
  • Annisa Meidiyoana   (20210919)
  • Dina Munawaroh      (22210064)
  • Dini Triana                  (22210079)
  • Laraz Sekar Arum W  (23210968)
  • Nia Ismatu Ulfa          (24210956)
Kelas                           : 2EB05
















  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS